Nyi Ageng Serang, Pejuang dan Ahli Siasat Perang

Nyi Ageng Serang, Pejuang dan Ahli Siasat Perang

Read Time:1 Minute, 54 Second

Nama Nyi Ageng Serang tentu tak asing lagi bagi kita. Sosoknya diabadikan menjadi sebuah monumen di tengah kota Wates, Kulon Progo berupa patung beliau sedang menaiki kuda dengan gagah berani membawa tombak. Jejak sejarah perjuangan tokoh wanita ini juga turut diabadikan oleh Museum Perjuangan Yogyakarta melalui replika patung yang dipamerkan di ruang pameran tetapnya.  

Terlahir pada tahun 1752 dengan nama Raden Ajeng Kustiah Retno Adi, Nyi Ageng Serang merupakan putri dari Pangeran Notoprojo yang kemudian terkenal dengan nama Panembahan Serang. Ayahnya merupakan Bupati Serang (terletak 14 km sebelah utara Kota Solo, Jawa Tengah) yang kemudian diangkat menjadi Panglima Perang oleh Sultan Hamengkubuwana I. Sewaktu terjadi pertempuran antara VOC dengan pasukan ayahnya (Notoprojo) yang menolak perjanjian Giyanti (1755), gugurlah putra Pangeran Notoprojo yang selanjutnya Pangeran Notoprojo mempercayakan tampuk kepemimpinan pada putrinya, Nyi Ageng Serang. Namun pasukan tersebut kalah dalam jumlah serta persenjataan, hingga berakhir dengan tertangkapnya Nyi Ageng Serang dan dibawa ke Yogyakarta. Tetapi kemudian dikembalikan ke Serang. Setelah dibebaskan oleh Belanda, Nyi Ageng Serang kemudian menikah dengan Pangeran Kusumawijaya. 

Saat Pangeran Diponegoro mengumandangkan perang melawan Belanda, Nyi Ageng Serang bersama dengan suami dan pasukannya merapat dan menyatukan kekuatan ke kubu Pangeran Diponegoro. Dalam medan petempuran tersebut, Nyi Ageng Serang harus menelan pil pahit dengan kehilangan suami tercintanya. Namun, gugurnya orang terkasih, tidak menyurutkan semangat juang Nyi Ageng Serang.

Nyatanya, usia yang telah lanjut, bukanlah halangan untuk terus berjuang. Sejarah mencatat bahwa diusianya yang meski sudah 73 tahun, Nyi Ageng Serang bersama dengan cucunya R.M. Papak, terus gigih berjuang. Berkat keahliannya dalam strategi perang, pasukannya selalu berhasil memporak-porandakan pasukan Belanda di daerah Purwodadi, Semarang, Demak, Kudus, Yowono dan Rembang. Dalam taktik perangnya, Nyi Ageng Serang menginstruksikan prajurit-prajurit yang ikut berperang untuk menutupi kepalanya dalam penyamaran menggunakan daun keladi (daun lumbu), sehingga dari kejauhan musuh melihatnya seperti kebun tanaman keladi. Barulah setelah dekat dengan sasaran, musuh kemudian dihancurkan. 

Nyi Ageng Serang pernah memimpin pasukannya secara langsung di Desa Beku, Kabupaten Kulon Progo. Beliau wafat pada usia 76 tahun dan sesuai permintaannya, Nyi Ageng Serang dimakamkan di Desa Beku, Kabupaten Kulon Progo. Atas jasa-jasanya, Nyi Ageng Serang dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional sebagaimana Keputusan Presiden RI No. 084/TK/ Tahun 1974, tertanggal 13 Desember 1974. 

Penulis : Lilik Purwanti (Pamong Budaya Pertama Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.