ABU Ubaidah bin Jarrah bukanlah sekadar orang kepercayaan Rasulullah SAW semata-mata.Beliau seorang yang berani memikul kepercayaan yang dibebankan kepadanya. Hal itu ditunjukkannya dalam berbagai peristiwa dan tugas yang dipikulkan kepadanya.
Pada suatu hari Rasulullah SAW mengirim satu pasukan yang terdiri dari para sahabat untuk menghadang kafilah Quraisy. Beliau mengangkat Abu Ubaidah menjadi kepala pasukan, dan membekali mereka hanya dengan sekarung kurma.
Tidak lebih dari itu. Abu ‘Ubaidah membagi-bagikan kepada para prajuritnya sehari sebuah kurma bagi seorang. Mereka mengulum kurma itu seperti menghisap gula-gula. Sesudah itu mereka minum. Hanya begitu mereka makan untuk beberapa hari. Waktu kaum muslimin kalah dalam perang Uhud, kaum musyrikin sedemikian bernafsu ingin membunuh Rasulullah SAW.
Waktu itu, Abu Ubaidah termasuk sepuluh orang yang selalu membentengi Rasulullah. Mereka mempertaruhkan dada mereka ditembus panah kaum musyrikin, demi keselamatan Rasulullah SAW. Ketika pertempuran telah usai, sebuah taring Rasulullah ternyata patah. Kening beliau luka, dan di pipi beliau tertancap dua mata rantai baju besi beliau. Abu Bakar menghampiri Rasulullah hendak mencabut kedua mata rantai itu dan pipi beliau. Kata Abu ‘Ubaidah, “Biarlah saya yang mencabutnya!” Abu Bakar menyilakan Abu ‘Ubaidah. Abu Ubaidah khawatir kalau Rasulullah kesakitan bila dicabutnya dengan tangan. Maka digigitnya mata rantai itu kuat-kuat dengan giginya lalu ditariknya. Setelah mata rantai itu tercabut, gigi Abu ‘Ubaidah tanggal satu.
Kemudian digigitnya pula mata rantai yang sebuah lagi. Setelah tercabut, gigi Abu ‘Ubaidah tanggal pula sebuah lagi. Kata Abu Bakar, “Abu ‘Ubaidah orang ompong yang paling cakep.”
Abu ‘Ubaidah selalu mengikuti Rasulullah berperang dalam setiap peperangan yang dipimpin beliau, sampai beliau wafat. Dalam musyawarah pemilihan Khalifah yang pertama (Yaumus-saqifah), ‘Umar bin Khattab mengulurkan tangannya kepadà Abu ‘Ubaidah seraya berkata, “Saya memilih Anda dan bersumpah setia dengan Anda.
Karena saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya tiap-tiap umat mempunyai orang dipercayai. Orang yang paling dipercaya dan ummat ini adalah Anda (Abu ‘Ubaidah).” Jawab Abu ‘Ubaidah, “Saya tidak mau mendahului orang yang pernah disuruh Rasulullah untuk mengimami kita salat sewaktu beliau hidup (Abu Bakar).
Walaupun sekarang beliau telah wafat, marilah kita imamkan juga dia.” Akhirnya mereka sepakat memilih Abu Bakar menjadi Khalifah Pertama, sedangkan Abu ‘Ubaidah menjadi penasihat dan pembantu utama bagi Khalifah. Setelah Abu Bakar, jabatan khalifah pindah ke tangan ‘Umar bin Khattab Al-Faruq. Abu ‘Ubaidah selalu dekat dengan ‘Umar dan tidak pernah membangkang perintahnya, kecuali sekali.
Tahukah Anda, perintah Khalifah ‘Umar yang bagaimanakah yang tidak dipatuhi Abu Ubaidah? Peristiwa itu terjadi ketika Abu ‘Ubaidah bin Jarrah memimpin tentara muslimin menaklukkan wilayah Syam (Syria). Dia berhasil memperoleh kemenangan demi kemenangan berturut-turut, sehingga seluruh wilayah Syam takluk ke bawah kekuasaannya sejak dan tepi sungai Furat di sebelah Timur sampai ke Asia Kecil di sebelah Utara.
Demi Allah! Saya tidak melihat orang yang lapang dada melebihi dia. Saya tidak melihat orang yang lebih jauh dan kepalsuan, selain dia. Saya tidak tahu; kalau ada orang yang lebih menyukai kehidupan akhirat melebihi dia. Dan saya tidak tahu, kalau ada orang yang suka memberi nasihat kepada umum melebihi dia.
Sementara itu, di negeri Syam berjangkit penyakit menular (Tha’un) yang amat berbahaya, yang belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga korban berjatuhan. Khalifah Umar datang dan Madinah, sengaja hendak menemui Abu Ubaidah. Tetapi ‘Umar tidak dapat masuk kota kerana penyakit yang sedang mengganas itu. Lalu Umar menulis surat kepada Abu Ubaidah sebagai berikut: “Saya sangat penting bertemu dengan Saudara. Tetapi saya tidak dapat menemui Saudara karena wabah penyakit sedang berjangkit dalam kota.
Karena itu bila surat ini sampai ke tangan Saudara malam hari, saya harap Saudara berangkat menemui saya di luar kota sebelum Subuh. Dan bila surat ini sampai ke tangan siang hari, saya harap Saudara berangkat sebelum hari petang.” Setelah surat Khalifah tersebut dibaca Abu ‘Ubaidah, dia berkata, “Saya tahu maksud Amirul Mu’minin memanggil saya. Beliau ingin supaya saya menyingkir dari penyakit yang berbahaya ini.”
Lalu dibalasnya surat Khalifah, katanya; “Ya, Amirul Mu’minin! Saya mengerti maksud Khalifah memanggil saya. Saya berada di tengah-tengah tentara muslimin, sedang bertugas memimpin mereka. Saya tidak ingin meninggalkan mereka dalam bahaya yang mengancam hanya untuk menyelamatkan diri sendiri. Saya tidak ingin berpisah dengan mereka, sehingga Allah memberi keputusan kepada kami semua (selamat atau binasa). Maka bila surat ini sampai ke tangan Anda, ma’afkanlah saya tidak dapat memenuhi permintaan Anda, dan beri izinlah saya untuk tetap tinggal bersama-sama mereka.”
Setelah Khalifah Umar selesai membaca surat tersebut, beliau menangis sehingga air matanya meleleh ke pipinya. Karena sedih dan terharu melihat Umar menangis, maka orang yang disamping beliau bertanya, “Ya, Amiral Mu’minin! Apakah Abu ‘Ubaidah wafat?” “Tidak!” jawab Umar. “Tetapi dia berada di ambang kematian.” Dugaan Khalifah tersebut tidak meleset. Karena tidak lama sesudah itu Abu ‘Ubaidah terserang wabah yang sangat berbahaya.
Sebelum kematiannya Abu ‘Ubaidah berwasiat kepada seluruh prajuritnya: “Saya berwasiat kepada Anda sekalin. Jika wasiat ini kalian terima dan laksanakan, kalian tidak akan sesat dari jalan yang baik, dan senantiasa berada dalam bahagia”. “Tetaplah menegakkan salat. Laksanakan puasa Ramadhan. Bayar sedekah (zakat). Tunaikan ibadah haji dan umrah. Hendaklah kalian saling menasihati sesama kalian. Nasihati pemerintah kalian, jangan dibiarkan mereka tersesat. Dan janganlah kalian tergoda oleh dunia.
Walaupun seseorang bisa berusia panjang sampai seribu tahun, namun akhirnya dia akan menjumpai kematian seperti yang kalian saksikan ini. “Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…” lanjutnya. Kemudian dia menoleh kepada Mu’adz bin Jabal. Katanya, “Hai, Mu’adz! Sekarang engkau menjadi Imam (Panglima)!” Tidak lama kemudian, ruhnya yang suci berangkat ke rahmatullah. Dia telah tiada di dunia fana. Jasadnya tidak lama pula habis dimakan masa. Tetapi amal pengorbanannya akan tetap hidup selama-lamanya.
Mu’adz bin Jabal berdiri di hadapan jama’ahnya, lalu dia berpidato: “Ayyuhannaas! (Hai sekalian manusia!) Kita semua sama-sama merasa sedih kehilangan dia (Abu Ubaidah). Demi Allah! Saya tidak melihat orang yang lapang dada melebihi dia. Saya tidak melihat orang yang lebih jauh dan kepalsuan, selain dia. Saya tidak tahu; kalau ada orang yang lebih menyukai kehidupan akhirat melebihi dia. Dan saya tidak tahu, kalau ada orang yang suka memberi nasihat kepada umum melebihi dia. Karena itu marilah kita memohon rahmat Allah baginya, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pula kepada kita semua. Aaamiiiin Ya Robbal Alamiin!!
sumber kalam.sindonews.com/read/414002/70/abu-ubaidah-bin-jarrah
Average Rating